Minggu, 08 Mei 2016

“INSYA ALLAH” MEMANTAPKAN USAHA DAN DISIPLIN

MEDIA DAKWAH DAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“AMANU






“INSYA ALLAH”
MEMANTAPKAN USAHA DAN DISIPLIN
Wujud Iman Kepada Allah SWT







OLEH:
 DR. KH. AHMADI H. SYUKRAN NAFIS, MM
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Banjarmasin (2009 s.d 2015)
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Barito Kuala (2015 s.d sekarang)
Sekretaris Komisi Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalsel
Pembimbing Majelis Taklim Ahlus Sunnah Waljamaah, Kantor Kemenag. Kota Banjarmasin,
Pimpinan/ Pembimbing Majelis Taklim Ahmadi Syukran Nafis Al-Banjari DR KH MM – Nurul Aida Hj. SE., MM (MT AMANU) Handil Bakti, Kab. Barito Kuala – Kota Banjarmarin
Kalimantan Selatan



Pendahuluan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين وبه نستعين على أمور الدّنيا والدّين. والصّلاة والسّلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وأصحابه أجمعين. اشهدأن لاإله إلاّ الله وحده لاشريك له ألملك الحق المبين.
وأشهد أنّ محمدا عبده ورسوله صادق الوعدالأمين.
اللهمّ صلىّ وسلّم وبارك على سيّدنا محمد وعلى ال سيّدنا محمّد وعن كلّ صحابة رسول الله أجمعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أمّا بعد .

Yang Mulia; Para Alim Ulama, umara, guru-guru agama, ustadz- ustadzah,bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara-saudaraku, anak-anaknda, cucu-cucunda; para santri, pelajar, mahasiswa dan generasi muda serta muslimin dan muslimat yang berbahagia.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadhirat Allah SWT., yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita sekalian.
Salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para sahabat, keluarga beliau, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan ketetapan iman dan takwa kita kepada Allah SWT. Dan sebagai bukti kita ber-iman dan bertakwa adalah dengan melaksanakan perintah Allah SWT  dan  Rasul-Nya, serta menjauhi larangan-Nya.

Janji adalah hutang dan hutang wajib dibayar. Oleh karena itu, suatu janji wajib hukumnya untuk ditepati, bahkan bila seorang berjanji lalu diingkarinya tanpa uzur, maka ia tergolong memiliki tanda orang munafik. Namun karena seseorang tidak bisa memprediksi bahwa ia bisa dan pasti mampu melaksanakan sesuatu yang telah dijanjikannya pada orang lain pada masa yang akan datang, maka seharusnya ia menyertakan janji-janjinya untuk masa datang dengan sebuah kalimat Insya Allah (jika Allah menghendaki), hal ini sebagai bagian dari perwujudan keimanan kita kepada Allah SWT.
Para ulama telah sepakat bahwa berjanji dengan tambahan pengecualian kata Insya Allah atau semisal dengan bahasa Arab atau bahasa apapun adalah sunnah (dianjurkan dan berpahala) walau memang ada sebagian kecil ulama yang berpendapat wajib hukumnya tambahan kalimat Insya Allah. Namun ulama yang berpendapat sunnah pun memberi syarat; boleh berjanji tanpa Insya Allah, jika dalam hatinya tidak ada keyakianan bahwa ia pasti bisa menepati janjinya tanpa ada kaitanya dengan taqdir Allah.
”Insya Allah” Memantapkan Usaha dan Disiplin

Sebutlah ”Insya Allah”
Dalam pembahasan ini, kita membicarakan tentang Menyebut “Insya Allah” memantapkan tauhid kepada Allah SWT. Yaitu, dengan menyandarkan kepada Allah SWT untuk menyatakan sanggup dan dapat melakukan suatu perbuatan atau menepati janji apabila berjanji kepada orang lain.
Dan dalam menyatakan kesanggupan melakukan perbuatan tersebut, ada upaya akan berdisiplin dan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melakukan suatu perbuatan atau menepati janji tersebut.
Kata Insya Allah berarti jika Allah menghendaki, yang berasal dari bahasa Arab: in berarti jika, sya’a berarti menghendaki, dan Allah adalah nama Tuhan kita umat Islam.
Apabila kita mengatakan Insya Allah, maka bukan berarti kita tidak sanggup melakukan suatu perbuatan atau menepati janji bila berjanji, karena dengan alasan jika Allah menghendaki.
Padahal kita mengatakan Insya Allah tersebut, sebagai pengakuan kita bahwasanya;
  • Hanya Allah SWT yang Maha Kuasa dan hanya Allah lah yang Maha Mengetahui atas hal-hal yang belum terjadi atau yang akan terjadi besok.
  • Hanya Allah SWT yang mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh seseorang secara pasti pada esok harinya.
  • Meskipun manusia telah merencanakan dengan matang, atau merencanakan semaksimal mungkin menurut perhitungannya, terhadap apa yang dikerjakannya besok atau pada hari-hari mendatang, akan tetapi rencana itu hanya bersifat rencana, tidak bisa dipastikan bisa terlaksana atau tidak.
  • Apabila Allah SWT menghendaki maka pekerjaan itu akan terlaksana. Dan apabila Allah SWT tidak menghendaki, maka sangat mudah bagi Allah SWT untuk menghalangi terlaksanakanya rencana tersebut. (Kemenag RI., 2012, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 7, Hal. 575).

Dalam suatu riwayat, telah terjadi peristiwa di zaman Rasulullah SAW. ada beberapa orang musyrikin dari kaum Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan, dan beliau tidak mengucapkan insya Allah yang berarti, jika Allah menghendaki.
Akan tetapi sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut, sebagaimana yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga Nabi SAW tidak dapat menjawabnya.
Maka turunlah ayat Al-qur’an, Surah  Al-Kahfi (18):  23-24, yang menurut kalangan ahli tafsir, adalah sebagai pelajaran kepada Nabi Muhammad SAW., dan Allah mengingatkan pula bilamana Nabi SAW lupa menyebut insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam  Al-qur’an:

 “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi.” Q.S. Al-Kahfi (18): 23

“Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" [*]. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa, dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". Q.S. Al-Kahfi (18): 24

Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan kepada Rasulullah SAW agar tidak mengucapkan janji atau suatu pernyataan  untuk suatu pekerjaan dengan pasti, dengan berkata,: “Besok pagi akan kukerjakan”. Seharusnya beliau mengetahui bahwa, tidak seorang pun yang tahu dengan pasti apa yang akan terjadi besok pagi.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam  Al-qur’an:

 “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok [*]. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Q.S. Lukman (31): 34

Menurut ahi tafsir, maksudnya [*], bahwa, manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha.
Apabila kita mengatakan, sanggup melakukan suatu perbuatan atau menepati janji bila berjanji, dengan menyebut Insya Allah, adalah untuk memantapkan tauhid kita kepada Allah SWT., bahwasanya segala sesuatu terjadi apabila Allah SWT menghendaki. Karena Allah SWT lah yang mengetahui hal-hal yang belum terjadi, dengan kata lain; apa yang akan kita kerjakan besok bisa terjadi kalau Allah SWT menghendaki.
Karenanya, sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, apa yang kita perkirakan atau rencanakan besok atau dalam waktu tertentu bisa dikerjakan, namun dalam kenyataannya, bisa terlaksana dan juga bisa tidak terlaksana, bisa tertunda beberapa hari, beberapa waktu, atau dalam waktu-waktu yang kita tidak tahu kapan bisa terlaksana.
Sebagaimana peristiwa yang dialami Nabi Muhammad SAW., yang berjanji kepada kaum quraisy, bahwasanya, besok pagi akan menjawab atas tiga pertanyaan kaum musyrikin Quraisy tersebut, tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain tersebut, dengan tidak mengucapkan Insya Allah, ternyata lima belas hari kemudian baru dapat beliau penuhi, yakni sesudah wahyu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu diturunkan. (Kemenag RI., 2012, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 5, Hal. 596).
Menurut At-Tabari (Ensiklopedi Islam, Jilid 3, halaman 202), orang yang mengucapkan Insya Allah, apabila ia hendak melakukan sesuatu menunjukkan bahwa ia mengaitkannya dengan kehendak Allah SWT dan menunjukkan cerminan keyakinan seseorang bahwa, tak ada sesuatu pun yang dapat terwujud atau terjadi, kecuali Allah SWT menghendakinya.


Mengapa Kita Perlu Menyebut Insya Allah?

Kita perlu menyebut Insya Allah, apabila kita menyatakan sanggup dan dapat melakukan suatu perbuatan atau menepati janji apabila berjanji kepada orang lain.
Sebab, penyebutan Insya Allah tersebut, adalah:
1.       Sebagai ungkapan tekad dalam menyatakan kesanggupan melakukan perbuatan, akan berdisiplin dan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melakukannya, seperti yang ditunjukkan Nabi Ismail a.s. kepada ayahnya, Nabi Ibrahim a.s. (Ensiklopedi Islam, Jilid 3, halaman 202-203), sebagaimana diceritakan dalam Surah As-Saffat (37): 102

Firman Allah SWT.

 “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Q.S. As-Saffat (37): 102

2.       Memantapkan keyakinan dan ketaatan atas apa yang dituntut dari dirinya, sehingga benar-benar berupaya untuk memenuhinya, dan tidak mencari-cari alas an untuk mengingkarinya.

3.       Apabila terjadi suatu halangan atau meninggal dunia sebelum hari besok itu datang, sehingga dia tidak dapat mengerjakan apa yang diucapkannya itu, maka dia tidak dipandang sebagai pendusta dalam janjinya apabila disertai dengan menyebut Insya Allah.
4.       Menghindari diri dari hal-hal yang dapat merusak tata kehidupan manusia, seperti adanya sifat takabur, merasa dirinya sendiri yang hebat dan orang lain direndahkannya

5.       Menghindari terjadinya kesalahpahaman, percekcokan dan perkelahian, akibat kekecewaan dan kemarahan (nafsu amarah) yang tak terkendalikan, dikarenakan merasa dibohongi, apabila tidak terpenuhi apa yang dinyatakan kesanggupannya atau tidak terpenuhinya apa yang dijanjikan tersebut, dengan tidak menyebut Insya Allah.

6.       Sebagai pengakuan bahwa, hanya Allah SWT Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Mengetahui, sedangkan kita adalah makhluk yang lemah, tidak kuat kuasa, dan tidak mengetahui hal-hal yang belum terjadi, atau hal-hal yang gaib.

Bagaimana Kita Mengatakan Insya Allah, Kalau Seandainya Kita Lupa menyebut Insya Allah, atau Tidak Menyebutkannya Karena Merasa Sanggup Melakukannya?

            Meskipun kita merasa sanggup untuk melaksanakan kegiatan yang disebutkan atau yang dijanjikan, namun kita tetap dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW untuk menyebutkan Insya Allah.   

  1. Menyebut Insya Allah pada saat berbicara, sebagaimana Allah SWT memberikan teguran kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak mengiringi dengan menyebut Insya Allah, ketika berjanji kepada kaum quraisy bahwasanya, besok pagi akan menjawab atas tiga pertanyaan kaum musyrikin, tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain tersebut, dengan tidak mengucapkan Insya Allah. (Q.S. Al-Kahfi/ 18: 23-24)
Sebagaimana firman Allah SWT dalam  Al-qur’an:

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi.” Q.S. Al-Kahfi (18): 23

“Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" [*]. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa, dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". Q.S. Al-Kahfi (18): 24

  1. Dan apabila terlupa menyebut Insya Allah dalam janjinya, maka hendaknya menyebut Insya Allah segera ketika ingat. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Kahfi/ 18: 24 dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, bahwaRasulullah SAW mengucapkan: “Demi Allah, pasti akan memeranagi Quraisy”, kemudian beliau diam lalu berkata: “Insya Allah…” (Kemenag RI., 2012, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 5, Hal. 596)

  1. Mengiringi sebutan Insya Allah dengan do’a, dan mengharap petunjuk dari Allah SWT.
Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Kahfi/ 18: 24, bahwasanya, Allah SWT menyuruh Rasul-Nya supaya mengharapkan dengan sangat kepada Allah SWT supaya Allah SWT memberikan petunjuk kepada beliau ke jalan yang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih kuat untuk dijadikan alasan bagi kebenaran agama. Allah SWT telah memenuhi harapan Nabi Muhammad SAW tersebut dengan menurunkan kisah nabi-nabi dan umat mereka masing-masing pada segala zaman, yang bermanfaat bagi kehidupan mereka di dunia dan akhirat. (Kemenag RI., 2012, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 5, Hal. 596).

Adakah Contoh-contoh Umat Terdahulu Dalam Menyebut Insya Allah?

Banyak peristiwa yang diceritakan oleh Allah SWT dalam Al-qur’an tentang nabi-nabi terdahulu dan umatnya, dalam hal mengucapkan Insya Allah tersebut, dan termasuk kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW juga dianjurkan untuk mengucapkan Insya Allah apabila menyatakan kesanggupannya melakukan sesuatu atau berjanji kepada orang lain.
1)      Contoh Nabi Syu’aib, dalam firman Allah SWT.

“Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu. Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik". Q.S. Al-Qasas (28): 27
2)      Contoh Menyebut Insya Allah,
Nabi Musa, dalam firman Allah SWT.

“Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". Q.S. Al-Kahfi (18): 69

3)      Contoh Menyebut Insya Allah,
Nabi Yusuf, dalam firman Allah SWT.

 “Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapanya (Ayah dan saudara perempuan ibunya/ bibi) dan dia berkata: "Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman". Q.S. Yusuf (12): 99

4)      Contoh Menyebut Insya Allah,
Umat Yahudi, dalam firman Allah SWT.

 “Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Q.S. Al-Baqarah (2): 70




Manifestasi Iman Dalam Kehidupan Masyarakat

Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyeru kepada orang-orang yang beriman: 
”Yaa ayyuhalladziina aamanuu” yang artinya: Hai orang-orang yang beriman”.
Secara bahasa (lugawi) Iman berarti pembenaran hati. Dan secara istilah, Iman berarti; membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.
Secara umum Iman berarti percaya. Yakni, percaya kepada Rukun Iman yang enam perkara, sbb:

Jadi, Rukun Iman adalah:
(1)    beriman kepada Allah,
(2)    beriman kepada malaikat-malaikat-Nya,
(3)    beriman kepada kitab-kitab-Nya,
(4)    beriman kepada rasul-rasul-Nya, dan
(5)    beriman kepada hari akhir, dan
(6)    beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk

Selain dalam pengertian percaya, atau kepercayaan, sebutan ”iman” banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pengertian yang sama dengan;
  • kebajikan (al-birr),
  • takwa, dan
  • kepatuhan (ad-diin).
(Baca: Ibnu Taimiyah dalam Al-Iman, hal. 162-163).
Dalam pengertian ”kebajikan” (al-bir) sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-qur’an Surah Al-Baqarah (2): 177: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
            Dalam ayat ini sekaligus menegaskan, keterkaitan dalam pengertian ketakwaan. Sebagaimana ditegaskan, ”mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-oang yang takwa. Dan sekaligus juga sebagai kepatuhan dalam beragama, yakni melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT diantaranya, ada beberapa kegiatan yang ditegaskan dalam ayat tersebut.
Kebajikan  yang kita laksanakan tersebut sebagai iman adalah;
beriman kepada Allah,
beriman kepada malaikat-malaikat,
beriman kepada kitab-kitab,
beriman kepada nabi-nabi
beriman kepada hari kemudian, dan juga kepada takdir.

Dan iman tersebut termanifestasi dalam amal perbuatan, diantaranya yang disebutkan dalam ayat ini adalah:
  • memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
  • mendirikan shalat, dan
  • menunaikan zakat;
  • menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
  • sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan
Dan masih banyak lagi amal perbuatan yang yang merupakan menifestasi dari iman kita, yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an maupun yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW.

Perbuatan Baik Sebagian Dari Iman

Sungguh banyak perbuatan-perbuatan baik yang merupakan bagian dari iman sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Anas r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. Bersabda: "Tidak beriman salah seorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri."

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Salim bin Abdullah dari ayahnya, mengatakan bahwa Rasulullah saw lewat pada seorang Anshar yang sedang memberi nasihat (dalam riwayat lain: menyalahkan 7/100) saudaranya perihal malu. (Ia berkata, "Sesungguhnya engkau selalu merasa malu", seakan-akan ia berkata, "Sesungguhnya malu itu membahayakanmu.")
Lalu, Rasulullah saw. bersabda, "Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari iman."
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, "Tiga hal yang apabila terdapat pada diri seseorang maka ia mendapat manisnya iman yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada selain keduanya, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan ia benci untuk kembali ke dalam kekafiran (1/11) sebagaimana bencinya untuk dicampakkan ke dalam neraka."

Oleh karena itu, bagi kita umat Islam, manifestasi iman sangat penting sekali kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti selalu mengucapkan kalimat insya Allah jika berjanji/berucap. Agar kita termasuk orang-orang yang beriman (mukmin), dan termasuk orang-orang yang bertakwa (muttaqin), sehingga mudah-mudahan masuk sorga bersama Rasulullah SAW. Dan mudah-mudahan kita istiqamah dalam iman dan Islam.



Penutup

Akhir kalam; Mohon maaf dan mohon ke-relaan-nya kepada semua pihak, atas hal-hal yang kurang berkenan dan atas partispasinya dalam penerbitan media ini. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni semua dosa-dosa kita, kedua orang tua kita dan guru-guru kita serta menerima semua amal ibadah kita. Amin. Terimakasih.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ




Reference

Kementerian Agama RI., 2011, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, PT. Adhi Aksara Abadi Indonesia.
Kementerian Agama RI., 2012, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta, Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, PT. Senergi Pustaka Indonesia.
Jalaluddin Al-Mahalli, Jalaluddin As-Sayuti, Penterj: Bahrun Abu Bakar,Lc., 2013, Tafsir Jalain, Bandung, Sinar Baru Algesindo.
Samsul Munir Amin, Drs., MA., (Pengantar Said Agil Siradj, Prof. DR. KH. MA.), 2012, Ilmu Tasawuf, Jakarta, Amzah.
Sri Mulyani, DR. Hj., MA., 2010, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dengan Referensi Utama Suryalaya, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. 
Tim, 2005, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Tim, Inseklopedi Al-Qur’an-Tematis, Jakarta, PT. Kharisma Ilmu.
https://www.facebook.com/Alquransebagaipedomanhidupini/posts/472357676139137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar