MEDIA DAKWAH DAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“AMANU“
Dzikir
dan Tafakkur Memantapkan Akidah
OLEH:
DR. KH. AHMADI H. SYUKRAN NAFIS, MM
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota
Banjarmasin
Sekretaris Komisi Ukhuwah Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kalsel
Pembimbing Majelis Taklim Ahlus Sunnah Waljamaah, Kantor Kemenag. Kota Banjarmasin,
Pimpinan/ Pembimbing Majelis Taklim
Ahmadi Syukran Nafis Al-Banjari DR KH MM – Nurul Aida Hj. SE., MM (MT AMANU)
Handil Bakti, Kab. Barito Kuala – Kota Banjarmarin
Kalimantan Selatan
Pendahuluan
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين وبه نستعين على أمور الدّنيا والدّين. والصّلاة والسّلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وأصحابه أجمعين. اشهدأن لاإله إلاّ الله وحده لاشريك له ألملك الحق المبين.
وأشهد أنّ محمدا عبده ورسوله صادق الوعدالأمين.
اللهمّ صلىّ وسلّم وبارك على سيّدنا محمد وعلى ال سيّدنا محمّد وعن كلّ صحابة رسول الله أجمعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أمّا بعد .
Yang Mulia; Para Alim Ulama, umara, guru-guru
agama, ustadz- ustadzah,bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara-saudaraku, anak-anaknda,
cucu-cucunda; para santri, pelajar, mahasiswa dan generasi muda serta muslimin
dan muslimat yang berbahagia.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur
ke hadhirat Allah SWT., yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada
kita sekalian.
Salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para sahabat, keluarga beliau,
dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan
ketetapan iman dan takwa kita kepada Allah SWT. Dan sebagai bukti kita ber-iman
dan bertakwa adalah dengan melaksanakan perintah Allah SWT dan
Rasul-Nya, serta menjauhi larangan-Nya.
Setiap orang pada dasarnya membutuhkan suatu
pengetahuan dan petunjuk untuk mencapai kebenaran, sedangkan zikir
kepada Allah merupakan instrumen yang akan mendatangkan hidayah Allah.
Melalui
berpikir (bertafakkur), maka manusia akan sanggup melampaui kedudukan binatang
dan makhluk lainnya. Melalui tafakur, manusia mencapai kedudukan tertinggi.
Ketinggian kedudukan dan derajat manusia tidak akan terwujud kecuali dengan
memikirkan hal-hal yang paling abadi, yaitu
akhirat termasuk segala sesuatu yang mendukung keimanan.
Dzikir
dan Tafakkur
“Memantapkan
Akidah”
Perlunya membiasakan budi
pekerti dan akhlak mulia sejak dini, yang antara lain melalui “Dzikir dan
Tafakkur”, adalah merupakan upaya memantapkan akidah tauhid, iman dan takwa
kepada Allah SWT.
Kemantapan akidah tauhid,
iman dan takwa kepada Allah SWT sangat
penting bagi kita, dan diusahakan sejak dini, agar nantinya dapat membentengi
generasi kita sekarang dan masa mendatang dari berbagai pengaruh negatif dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, globalisasi dan liberalisasi serta
paham-paham keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhamma SAW.
“Dzikir dan Tafakkur” diperintahkan
oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an yang disampaikan oleh Malaikat Jibril ‘alaihi
salam kepada Nabi Muhammad SAW., Rasul akhir zaman. Sebagaimana juga diajarkan
kepada Rasul Allah yang terdahulu seperti kepada Nabi Ibrahim a.s.
“Dzikir dan Tafakkur” merupakan
jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, atau dalam istilah tasawuf
disebut sebagai tarekat atau jalan menuju makrifat kepada Allah SWT.
Tarekat (tariqah) mempunyai
beberapa arti antara lain (1) “jalan lurus” (Islam yang benar, yang berbeda dari
kekufuran dan syirik, (2) “tradisi sufi” atau (3) ”jalan spiritual” (tasawuf),
dan “persaudaraan sufi”. Pada arti ketiga, tarekat berarti “organisasi sosial
sufi” yang memiliki anggota dan peraturan yang harus ditaati, serta berpusat
pada hadirnya seorang mursyid (guru sufi). (Tim, 2005, Ensiklopedi Islam,
Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 46).
Dzikir dan Tafakkur dilakukan sebagai upaya
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
melalui jalan kesufian, yang dalam istilah ilmu Tarekat disebut sebagai
kesempurnaan suluk (merambah jalan kesufian dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah). Dengan keselarasan Islam, Iman, dan Ikhsan,
atau disebut dengan istilah syariat, tarekat dan hakikat, untuk mendapatkan manisnya iman, yakni; ma’rifat kepada
Allah (Ma’rifatullah/ mengenal Allah).
Banyak perintah Allah SWT
tentang Dzikir dan Tafakkur diantaranya firman Allah SWT
dalamAl-Qur’an Surah Ali-Imran/3: 190-191.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.” Q.S. Ali Imran/3: 190.
“(Yaitu)
orang-orang yang mengingat (berdzikir) kepada Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan (bertafakkur) tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.” Q.S. Ali Imran/3: 191
Rasulullah SAW bersabda dalam
sebuah hadits shahih tentang Islam, Iman dan Ihsan, yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim :
Artinya :
Dari Umar radhiallahu ‘anhu
juga dia berkata : “Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW suatu hari,
tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih
dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan
tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi SAW lalu menempelkan
kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah SAW) seraya berkata:
Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, maka bersabdalah
Rasulullah SAW: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah)
selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian
dia berkata: “Anda benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang
membenarkan.
Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu
beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada
takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata: “Anda benar”.
Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu
beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”
Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan
kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang
bertanya”.
Dia berkata: “Beritahukan aku
tentang tanda-tandanya“, beliau bersabda: “ (1) Jika seorang hamba melahirkan
tuannya dan (2)
jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala
domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya”.
Kemudian orang itu berlalu dan aku
berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah engkau siapa
yang bertanya ?”. Aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui“. Beliau
bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan
agama kalian“. (Hadits Riwayat Muslim).
Dalam hadits ini disebutkan ketiga aspek
(Islam, iman dan ihsan) adalah merupakan satu kesatuan. Maksudnya, dalam diri
seorang umat Islam tidak bisa hanya menekankan salah satunya saja, melainkan
merupakan seorang muslim yang utuh, yakni yang beriman, berislam dan berihsan.
Jadi penekanannya tidak hanya pada aspek Islam, dalam arti fiqh
semata, yakni kecdnderungan pada pemikiran keagamaan yang bersifat
legal-formal. Atau dapat dikatakan,secara fiqh saja.
Demikian pula tidak hanya penekanan pada aspek iman (keimanan)
semata, sehingga menjadikan seseorang hanya sekedar percaya, seperti dalam
kehidupan masyarakat kita pernah disebut sebagai aliran kepercayaan dan
kebatinan. Atau dapat dikatakan secara iman atau keimanan saja.
Dan tidak hanya menekankan pada aspek ihsan saja, yakni menjadikan
seseorang hanya melakukan kebaikan semata. Kalau sudah berbuat baik, maka tidak
perlu lagi melaksanakan ibadah-ibadah seperti tuntunan fiqh (dalam Islam)
seperti shalat, puasa, dll. Atau dapat
dikatakan secara tasawuf saja.
Dalam
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diajarkan bahwa tarekat diamalkan justru
dalam rangka menguatkan syari’at. Karena bertarekat dengan mengabaikan syariat
ibarat bermain di luar sistem, sehingga tidak akan dapat mendapatkan sesuatu
kecuali kesia-siaan.
Ajaran
tentang prinsip kesempurnaan suluk merupakan ajaran yang selalu ditekankan oleh
pendiri tarekat Qadiriyah, yaitu Syekh Abdul Qadir al-Jailani, hal ini dapat
dimaklumi, karena beliau seorang sufi sunni dan sekaligus ulama fiqih. Beliau adalah faqih dalam mahzab Hambali (Ahmad
bin Hambal). Inilah pemahaman prinsip yang membedakan antara sufi sunni dan sufi
bid’i
Menurut Nurcholis Madjid, tarekat-tarekat yang ada
sekarang ini merupakan suatu kelembagaan sufi populer yang merupakan hasil dari
usaha dan kerja keras para ulama’ sufi sunni, seperti al-Ghazali, al-Qusyairi,
al-Sya’rani, Ibnu Taimiyyah, dan lain-lain.
Sehingga, menurutnya, keberadaan tarekat-tarekat yang
ada sekarang ini sudah tidak perlu untuk terlalu dicurigai keabsahannya secara
syar’i.
Walaupun demikian sudah barang tentu, ada satu-dua,
yang mengatasnamakan tarekat, atau berperan sebagai tarekat tetapi tidak
mengindahkan syari’at. Tarekat seperti ini jelas termasuk sebagai tarekat yang
tidak absah (Tarekat Ghairu Mu’tabarah).
Karenanya, adanya organisasi tarekat dimaksudkan
antara lain adalah untuk memudahkan pengawasan terhadap kemungkinan munculnya
penyimpangan-penyimpangan dalam pengamalan suatu tarekat, dari ketentuan
syari’at Islam.
Sehingga dapat dibedakan dengan lebih mudah, mana
pengamalan suatu tarekat yang menyimpang atau yang tidak, dari ketentuan
syari’at Islam. Sehingga dapat dibedakan dengan lebih mudah, mana yang mu’tabarah
(absah), dan yang ghairu mu’tabarah (batil).
Tafakkur, Amaliyah Sehari-Hari,
Tidak Mengikat
Dalam Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, kesempurnaan Suluk merupakan upaya, atau proses untuk mendapatkan ma’rifat kepada
Allah swt, dengan mendekatkan diri kepada-Nya, yang dilakukan dalam sebuah
sistem yang telah ditetapkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya.
Yaitu, dengan mengikuti tarikat yang benar, yang tidak
meninggalkan syariat, diantaranya selain dzikir sebagai ajaran utama tarekat, juga dengan tafakkur atau berfikir, sebagai amaliyah kegiatan kita sehari-hari, yang tidak
mengikat.
Karena merupakan amaliyah
tidak mengikat, maka tafakkur tidak mengikat pula pada aliran tarekat
yang diikutinya. Pengikut tarekat apa saja bisa melakukan tafakkur
sebagai amaliyah kegiatan sehari-harinya, meskipun tafakkur ini terdapat
pada ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Setiap umat Islam
diperintahkan oleh Allah SWT untuk bertafakkur. Namun ilmu bagaimana
melaksanakan tafakkur ini banyak yang tidak mengetahuinya, karena jarang
diturunkan atau hampir tidak ada lagi yang meng-ijazahkan sebagai amaliyah
kegiatan kita sehari-hari. Mengingat – mohon maaf – para mursyid (guru tarekat)
lebih terfokus pada ajaran dzikir.
Pengertian tafakkur atau
berfikir, yang dalam
terminologi (batasan istilah) tasawuf, bahwa tafakkur ini bermakna
transendental (Maksudnya menurut kamus besar Bahasa Indonesia: 1. menonjolkan
hal-hal yg bersifat kerohanian, 2. sukar dipahami; 3. gaib; tidak kelihatan,
tersembunyi, tidak nyata, dan 4. Abstrak; tidak berbentuk, tidak berwujud). Kesamaan kata dari transcendental ini adalah sir,
super natural, tersembunyi, samar, raib, lenyap, hilang, guyub/ gaib.)
Yakni memikirkan dan merenungkan makna, hakikat dan
hikmat dibalik sesuatu untuk menemukan keagungan dan kebesaran Allah SWT.
Maka dengan bertafakkur ini, diri kita menjadi kecil,
karena Yang Maha Besar itu hanyalah Allah SWT.
Kita adalah manusia yang
diciptakan oleh Allah SWT., merupakan bagian terkecil dari alam semesta yang
juga diciptakan Allah SWT. Kita ada, dan alam semesta ini ada. Tidak mungkin
kita dan alam semesta ini ada dengan sendirinya. Maka pasti ada yang
menciptakannya. Yang menciptakan itu wajib ada. Kalau tidak ada yang
menciptakan, maka tidak mungkin kita dan alam semesta ini ada. Pasti ada yang
menciptakan kita dan alam semesta ini. Yang menciptakan itu pasti Yang Maha
Pencipta. Yang Maha Pencipta itu adalah Tuhan kita, yaitu Allah SWT.
Kita sebagai manusia
diciptakan oleh Allah SWT dalam bentuk yang sempurna, demikian pula alam
semesta diciptakan Allah SWT dengan sempurna, terbukti semuanya berjalan
teratur mengikuti aturan dan ketetapan masing-masing sesuai dengan sunnatullahnya.
Oleh karena kita dan alam
semesta ini diciptakan dengan sempurna, merupakan satu kesatuan yang sempurna,
maka berarti yang menciptakan kita dan alam semesta ini pastilah Yang Maha
Sempurna, Yang Maha Satu atau Yang Maha Esa, yang memiliki sifat-sifat
kesempurnaan, keagungan dan kebesaran, yaitu Tuhan kita, Allah SWT., Tuhan Yang
Maha Agung, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa.
Maka sudah sepatutnya kita
mencintai kepada yang menciptakan kita, yaitu Allah SWT., dengan banyak
berdzikir dan bertafakkur kepada Allah SWT.
Dzikir
Meskipun dzikir dan tafakkur
sama-sama termasuk ajaran tarekat, namun kebanyakan mursyid (guru tarekat)
hanya mengijazahkan dzikir sebagai ajaran utama, khususnya Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, ajaran zikir menempati posisi sentral dalam
keseluruhan doktrin tarekat, disamping
ajaran yang berkaitan dengan perilaku dan sikap mental kesufian yang
lain, seperti adab kepada mursyid (guru tarekat), muraqabah, zuhud, wara’ dan
ikhlas, yang dalam hal ini banyak diberikan ketauladanan dan disampaikan secara
lisan-tulisan oleh para alim ulama, kyai, ustadz-ustadzah atau mursid (guru
tarekat).
Perintah
dzikir dalam al-qur’an diantaranya dalam Surah Al-Ahzab/33; 41-42.
41. Hai orang-orang yang beriman,
berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
42. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu
pagi dan petang.
Dalam
ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat 2 (dua) jenis dzikir yaitu :
(a)
Dzikir nafi isbat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat
“lailahaillallah”. Dzikir ini merupakan inti ajaran Tarekat Qadiriyah yang
dilafadzkan secara jahr (dengan suara keras). Dzikir nafi isbat pertama kali
dibaiatkan kepada Ali ibn Abi Thalib pada malam hijrahnya Nabi Muhammad dari
Mekah ke kota Yasrib (Madinah) di saat Ali menggantikan posisi Nabi (menempati
tempat tidur dan memakai selimut Nabi). Dengan talqin dzikir inilah Ali
mempunyai keberanian dan tawakaal kepada Allah yang luar biasa dalam menghadapi
maut. Alasan lain Nabi membaiat Ali dengan dzikir keras adalah karena
karakteristik yang dimiliki Ali. Ia seorang yang periang, terbuka, serta suka
menentang orang-orang kafir dengan mengucapkan kalimat syahadat dengan suara
keras.
(b)
Dzikir ismu dzat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “Allah” secara
sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dengan dzikir latifah dan
merupakan ciri khas dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Sedangkan dzikir ismu dzat
dibaiatkan pertama kali oleh Nabi kepada Abu Bakar al-Siddiq, ketika sedang
menemani Nabi di Gua Tsur, pada saat berada dalam persembunyiannya dari kejaran
para pembunuh Quraisy. Dalam kondisi panik Nabi mengajarkan dzikir ini
sekaligus kontemplasi dengan pemusatan bahwa Allah senantiasa menyertainya.
Selain dua jenis
dzikir pokok tersebut, dalam ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah juga menganjurkan bagi muridnya
yang telah menyelesaikan dzikir latha’if, untuk
melaksanakan Dzikir al-anfas.
Dzikir
al-anfas. adalah dzikir
untuk menyebut nama Allah dengan lidah batin (sirri atau khafi) yang
disertakan dengan ritme nafas (keluar masuknya nafas pada semua keadaan).
Sehingga ia menjadi orang yang menyebut asma Allah dalam semua keadaan (qiyaman,
wa qu’udan, wa’ala junubihim). Sedangkan teknik dzikir ini bebas
tidak terikat oleh waktu, tempat dan hitungan.
Ajaran tentang dzikir anfas (dzikir dengan
mengikuti ritme nafas) diberikan oleh sebagian mursyid kepada murid-muridnya
sebagai himbauan. Dan himbauan ini khususnya diberikan kepada murid-muridnya
yang telah khatam melaksanakan dzikir latha’if.
Dzikir al-anfas merupakan salah satu ajaran inti dalam Tarekat
Naqsyabandiyah yang sebelas. Yaitu Husn dar dam, atau sadar sewaktu
bernafas. Baik dengan menyebut ism dzat (Allah, Allah, Allah), maupun
dengan menyebut kalimat tahlil : la illah illa Allah.
Tafakkur
Adapun
tafakkur yang benar, sebenarnya
dapat menghilangkan penyakit-penyakit hati, dan dapat memancarkan perilaku-perilaku
dan sikap mental kesufian yang lainnya seperti adab kepada guru, muraqabah,
zuhud, wara’ dan ikhlas. Sehingga mendapatkan manisnya iman, yakni; ma’rifat kepada Allah (Ma’rifatullah/
mengenal Allah)
Namun
sangat jarang sekali, para tuan guru, alim ulama atau para kyai mengijazahkan
bagaimana cara tafakkur kepada Allah
SWT. Karena tafakkur ini termasuk ajaran yang bersifat tidak mengikat, kurang menjadi
penekanan dalam aliran tarekat. Atau akhlak sufi yang lainnya, diantaranya;
pedoman amal shaleh, niat berbuat kebaikan, menyempurnakan ibadah fardhu,
menaklukkan hawa nafsu, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, semangat beribadah malam,
memperbanyak puasa sunat, taat pada perintah Allah SWT., dll. (Tim, Inseklopedi Al-Qur’an-Tematis, Jakarta,
PT. Kharisma Ilmu, hal. 70-71).
Padahal
tafakkur ini sangat penting dalam
memperkokoh akidah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT., sebagai salah satu jalan (tarekat) menuju
makrifat kepada Allah SWT., yang tidak terikat waktu dan tempat, bahkan dapat
menembus ruang dan waktu alam semesta, jagat raya yang menunjukkan
kesempurnaan, keagungan dan kebesaran Allah SWT.
Pembagian
Tafakkur dapat dibagi ke dalam 6
macam model atau jenis, yaitu;
1. Tafakkur atas
kuasa Allah,
Yaitu
memikirkan dan merenungi ke-Maha Kuasa-an Allah yang telah menciptakan keindahan
yang dapat kita saksikan, dan kuasa Allah yang telah menjadikan alam semesta
(tujuh langit, tujuh bumi besera dengan isinya). Tafakkur model pertama ini adalah tafakkurnya para ulama’,
2. Tafakkur
atas ni’mat dan karunia Allah,
Yaitu berfikir tentang apa yang diberikan kepada kita
oleh Allah yang berupa ni’mat dan kurunia yang tidak terhitung jumlahnya
(karena terlalu banyak). Model tafakkur yang kedua ini adalah materi syukur.
3. Tafakkur
akan pengetahuan Allah,
Yaitu
bertafakkur atas sifat Allah Yang Maha Mengetahui. Ia adalah dzat yang maha
mengetahui akan segala yang lahir maupun yang batin. Bahwa semua yang
dikerjakan oleh hambaNya, baik yang dilakukan secara fisik maupun yang
dilakukan oleh anggota batin kita (nafs, qalb, ruh, sirr, khafi dan
akhfa) diketahui oleh Allah.
Jenis tafakkur
yang ketiga ini sampai yang ke enam
adalah tafakurnya para hamba-hamba Allah yang tulus (‘Abidin).
4. Tafakkur
atas nasib di akhirat,
Yaitu
memikirkan tentang ibadah kita di dunia ini dan bagaimana kelak nasib kita di
akhirat yang kekal abadi itu.
5. Tafakkur
atas sifat kehidupan duniawi,
Yaitu
berfikir dan merenungkan karekteristik kehidupan duniawi yang sangat fana
(temporal) dan senantiasa mengajak manusia kepada maksiat dan melupakan Allah.
6. Tafakkur atas datangnya kematian yang pasti dan keadaan seseorang
yang telah mati.
Allah SWT memerintahkan
kepada umat Nabi Muhammad SAW untuk bertafakkur kepada-Nya, sehingga
akan mendapatkan manisnya iman, dalam arti dapat mencapai makrifat kepada Allah
SWT.
Dengan bertafakkur
ini, kita sebagai manusia adalah makhluk yang lemah, kita mengakui telah banyak
lalai, banyak melakukan perbuatan dosa dan maksiat sengaja atau tidak sengaja,
baik perbuatan dosa kepada sesama makhluk maupun kepada Allah SWT., karenanya
dengan perasaan penuh harap kepada Allah SWT., aku bertaubat dan memohon ampun
kepada Allah SWT. “Astagfirullahal adhim, Astagfirullahal adhim,
Astagfirullahal adhim, alladzi laa ilaaha illa huwal qayyuumu wa atuubu ilaih”.
Dan sebagai manusia kita
mengakui tidak kuat kuasa, Yang Kuasa
hanyalah Allah SWT “Wa laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil
adhiim”.
Karenanya, dengan bertafakkur
ini, akidahku menjadi mantap, aku yakin seyakin yakinnya akan kebenaran iman
ku, aku yakin seyakin yakinnya akan kebenaran ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW Rasul akhir zaman, dengan bersyaksi bahwa tidak Tuhan (yang wajib
disembah) melainkan Allah SWT., dan aku bersaksi bahwa Muhammad SAW itu adalah
utusan Allah SWT. “Asyhadu an laa
ilaaha illallaah, Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah”
Dan dengan bertafakkur
ini menjadikan kita yakin seyakin-yakinnya, bahwa, Tuhan itu ada dan esa
adanya, yaitu Allah SWT., Tuhan yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah
melainkan Allah SWT. “Laa ilaaha illallah”. Menjadikan lisannya selalu basah, berdzikir
dengan menyebut kalimah thoyyibah “Laa ilaaha illallah”, “Laa ilaaha
illallah”, “Laa ilaaha illallah”.
Dan menjadikan seluruh
tubuhku berdzikir kepada Allah SWT seiring dengan tidak henti-hentinya
jantungku berdetak, roh ku, di dalam hatiku, menyebut nama Allah: “Allah-Allah,
Allah-Allah”, atau “Allahu-Allah, Allahu-Allah”.
Dan dengan bertafakkur
ini, kita menemukan kesempurnaan, keagungan dan kebesaran Allah SWT. Hanya
Allah lah Tuhan Yang Maha Besar; Allahu Akbar.
Allahu Akbar., Allah Maha Besar.,
Allah Yang Maha
Menciptakan, sehingga Allah yang mempunyai hak untuk memerintah yang
diciptakan-Nya.
Semua yang ada di alam
semesta tunduk kepada ketentuan Allah SWT., tunduk kepada perintah Allah SWT.
Maha suci Allah Tuhan seru
sekalian alam.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” Q.S. Al-A’raf/7: 54
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
“Katakanlah (Hai Muhammad): Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: “Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri
(kepada-Nya)". Q.S. Al-Anbiya (21): 108.
Penutup
Akhir kalam; Mohon maaf dan mohon
ke-relaan-nya kepada semua pihak, atas hal-hal yang kurang berkenan dan atas
partispasinya dalam penerbitan media ini. Mudah-mudahan
Allah SWT mengampuni semua dosa-dosa kita, kedua orang tua kita dan guru-guru
kita serta menerima semua amal ibadah kita. Amin. Terimakasih.
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ
Reference
Kementerian Agama RI., 2011, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta,
Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, PT.
Adhi Aksara Abadi Indonesia.
Kementerian Agama RI., 2012, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta, Dirjen
Bimas Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, PT. Senergi
Pustaka Indonesia.
Jalaluddin Al-Mahalli, Jalaluddin
As-Sayuti, Penterj: Bahrun Abu Bakar,Lc., 2013, Tafsir Jalain, Bandung, Sinar Baru Algesindo.
Samsul Munir Amin, Drs., MA.,
(Pengantar Said Agil Siradj, Prof. DR. KH. MA.), 2012, Ilmu Tasawuf, Jakarta, Amzah.
Sri Mulyani, DR. Hj., MA., 2010,
Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dengan Referensi Utama Suryalaya,
Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Tim, 2005,
Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Tim,
Inseklopedi Al-Qur’an-Tematis,
Jakarta, PT. Kharisma Ilmu.
Kurniawan, alumni Universitas Islam
negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Sosiologi Agama, Label: Suluk, Suryalaya, Tarekat, Tarekat
Qodiriyah wa Naqsabandiyah, Tasawuf .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar