MENTAULADANI
KARAKTER ”FATHONAH”
NABI
MUHAMMAD SAW
Cerdas Yang Takwa
Oleh:
DR. KH. Ahmadi H. Syukran Nafis, MM
Allah SWT
memberikan kecerdasan atau kecerdikan kepada Rasul Allah SWT, sehingga mampu
menyampaikan ajaran Islam dengan baik
dan mampu menghadapi berbagai tantangan dan rintangan serta mampu
menjelaskan hal-hal yang ditanyakan oleh umat, baik yang percaya maupun yang tidak
percaya. Dengan sifat fathonah, kecerdasan, yakni yang cerdik, pintar dan
disertai dengan ilmu yang luas, menjadikan umat mudah memahami ajaran yang
disampaikan oleh Rasul Allah. Karenanya, mustahil Rasul Allah SWT bersifat
bodoh.
Banyak peristiwa yang menunjukkan
sifat fathonah Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan kecerdasan Rasulullah SAW,
yakni cerdik, pintar dan ilmu yang luas, yang patut kita tauladani, karena
kecerdasan yang dimiliki oleh Rasulullah SAW berlandaskan pada ketakwaan kepada
Allah SWT.
Dalam Al-qur’an banyak ayat-ayat yang
mendorong pentingnya sifat fathonah, yakni dengan menggunakan akal dan
kecerdasaanya untuk memikirkan dan merenungkan tentang alam semesta serta
kejadian-kejadian yang menimpa umat yang terdahulu.
Dengan mentauladani sifat fathonah
Rasulullah SAW, yakni cerdik, pintar dan berilmu pengetahuan yang luas, maka
berarti umat akan menjadi berkualitas, dengan
kecerdasan atau kecerdikan, kepintaran dan keilmuan, sehingga menjadi
umat yang maju, dengan dilandasi ketakwaan kepada allah SWT.
Dengan demikian berarti, kita perlu
meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dan meningkatkan ilmu pengetahuan
kepada umat, baik dalam kehidupan berbangsa, bernegara maupun bermasyarakat dan
beragama. Agar tidak akan terjadi kondisi umat yang miskin, tertinggal, terbelakang, bodoh,
sebagaimana yang digambarkan oleh Prof. DR. H. Nurcholis Madjid (alm): “Islam
memiliki ajaran yang visioner dan revolusioner, tetapi anehnya kondisi umat
saat ini betul-betul sedang dicengkeram oleh gurita kemiskinan dan kebodohan”.
Penting, Terciptanya Generasi Yang Takwa
dan Cerdas
Allah SWT dan Rasulullah SAW
memberikan peringatan-peringatan kepada umat manusia, pentingnya menciptakan generasi yang cerdas, dengan
kecerdikan, kepintaran dan kailmuan yang luas. Karena Allah SWT telah memberi
ilmu kepada umat manusia, dari tidak tahu menjadi tahu, dan Allah SWT
memberikan panca indera agar dapat dipergunakan sesuai fungsinya, bukan
digunakan untuk kemaksiatan dan kemunkaran serta perbuatan dosa, melainkan agar
menjadi umat yang bersyukur kepada Allah SWT., sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur”. (Q.S. An-Nahl (16): 78).
Ketakwaan Menuntun Kecerdasan
Banyak orang-orang yang cerdas,
cerdik, pintar dan berilmu luas, namun kecerdasan dan ketinggian ilmunya itu
bukan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kebaikan umat, melainkan untuk
membinasakan atau merusak manusia dan alam.
Kecerdasan dan keilmuannya digunakan
untuk membuat senjata, bom, nuklir, akan
tetapi digunakan bukan untuk kesejahteraan manusia dan kebaikan alam, melainkan
untuk menghancurkan dan memusnahkan manusia dan alam.
Kecerdasan dan keilmuannya digunakan
untuk membuat obat-obatan dan alat-alat
kesehatan yang seyogyanya untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia, akan
tetapi dibuat untuk menghancurkan dan
memusnahkan manusia, dengan beredarnya secara besar-besaran narkoba dan minuman
keras. Dan banyak contohnya yang tidak bisa disebut satu persatu, namun sudah
diketahui oleh banyak orang, Karena ditayangkan diberbagai media massa baik
cetak maupun elektronik.
Oleh karena itu, ketakwaan penting
dalam menuntun kecerdasan, kecerdikan, kepintaran dan keilmuan. Karena dengan
dasar ketakwaan, Allah SWT akan memberikan petunjuk-Nya atau pertolongan-Nya
sehingga dalam melaksanakan amal dalam kehidupan dunia, termasuk dalam
menggunakan kecerdasannya, terhindar dari kesalahan-kesalahan, dan kalau pun
terjadi kesalahan maka Allah SWT memberikan pengampunan atas dosa-dosanya.
Sebagaimana firman Allah SWT sebagai
berikut:
Artinya:
“Hai
orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan
kepadamu Furqaan (petunjuk yang dapat membedakan antara yang haq dan yang
batil). Dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni
(dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Q.S. Al-Anfal (8): 29).
Menurut
ahli tafsir, kata Allah SWT memberi furqan, maksudnya; Allah SWT member
petunjuk yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil, dan dapat juga
diartikan dalam arti; sebagai pertolongan Alah SWT.
Perlunya Mentauladani Karakter ”Fathonah”, Agar Tidak Menyimpang dalam
Menggunakan Kecerdasan; Cerdik, Pintar dan Ilmu
Kita perlu menyiapkan generasi, yang
berkarakter, yakni berbudi pekerti baik dan berakhlak mulia, dengan
ketauladanan sifat fathonah Nabi Muhammad SAW, dengan mempersiapkan generasi
yang cerdas, dengan kecerdikan, kepintaran dan ilmu pengetahuan yang luas, dan
dituntun dengan ketakwaan kepada Allah SWT.
Karenanya dalam pembelajaran diperlukan adanya pendidikan agama
Islam dan dakwah, untuk menanamkan budi pekerti atau akhlak yang mulia kepada
masyarakat dan anak-anak, remaja dan generasi muda serta umat Islam secara
keseluruhan.
Sehingga dapat mentauladani
sifat-sifat dan akhlak Nabi Muhammad SAW yang mulia, baik melalui pendidikan
formal di sekolah dan madrasah, maupun melalui pendidikan non formal seperti
majlis taklim dan pengajian-pengajian, serta pendidikan informal, yakni di
rumah tangga atau keluarga yang merupakan pendidikan pertama kali dilaksanakan
oleh ayah dan ibu serta anggota keluarga lainnya.
Dengan diiringi ketakwaan maka
kecerdasan, atau kecerdikan, kepintaran dan berilmu yang luas tersebut bermanfaat
bagi umat manusia serta alam semesta. Sehingga berbagai kemajuan yang
dihasilkan oleh umat manusia seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kecanggihan dunia informasi dan komunikasi, tidak menghancurkan
umat manusia baik dari segi fisik maupun mental spiritual. Disamping tidak
menghancurkan umat, tidak mencelakakan umat manusia, juga tidak menghancurkan
alam semesta.
Disinilah pentingnya pendidikan agama
dan budi pekerti, agar terciptanya generasi kita sekarang dan mendatang menjadi
generasi yang berkualitas, dengan memiliki kecerdasan, atau kecerdikan,
kepintaran dan ilmu yang luas, dengan dibimbing oleh ketakwaan kepada Allah
SWT.
Firman Allah SWT.
Artinya:
“Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadalah (58): 11).
Lapangkanlah Majlis-Majlis Pendidikan dan Pengajaran,
Allah Meninggikan Derajat Orang
Yang Berilmu
Allah SWT
memerintahkan kepada umat manusia, agar menjadi orang yang beriman dan berilmu
pengetahuan, sehingga menjadi umat yang ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT.
Menyemarakkan majlis-majlis pendidikan dan pengajaran atau majlis taklim, serta
melapangkannya, sebagaimana firman Allah SWT dalam A;-Qur’an Surah Al-Mujadalah
(58): 11.
Ternyata apa yang
diisyaratkan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW lima belas abad yang silam,
sekarang ini masih relevan dalam pelaksanaan pembelajaran, dengan berbagai
macam metode yang dilakukan oleh guru yang mengajar. Misalnya, guru meminta
agar melapangkan majlis-majlis pembelajaran, maka kita pun melapangkannya.
Kalau disuruh berdiri, maka kita pun berdiri. Metode seperti ini banyak
dilakukan oleh pendidik, atau para widyaiswara dalam penataran atau diklat (pendidikan dan pelatihan). Kalau peserta
didik sudah lama duduk, maka diajak untuk berdiri, dan peserta didik diminta
melapangkan dengan jarak tertentu dari situasi yang tadinya sempit atau
berdempetan menjadi lebih longgar atau lapang. Sehingga suasana pembelajaran
menjadi lebih menarik dan memudahkan dalam pemahaman dan penguasaan ilmu yang disampaikan
oleh guru.
Dengan
kecerdasan, atau kecerdikan, kepintaran dan keilmuan, maka umat dari berbagai
lapangan pekerjaan maupun bidang keilmuan,
akan berfikir dan bekerja secara cerdas, profesional, sehingga kemajuan dan
kemandirian akan tercapai, sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW
sejak sebelum menjadi nabi dan rasul ketika berada di Mekkah di tengah-tengah
kaum qurais, sampai masa kerasulan dan hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah,
dan kembali ke Mekkah dengan kemajuan dan keberhasilan umat Islam di segala
bidang kehidupan.
Pentingnya
Belajar Ilmu Tauhid “Sifat Dua
Puluh" (Bag: 2)
KH. Abdurrahman bin Haji Muhammad Ali menjelaskan
sifat dua puluh bagi Allah SWT., meliputi dua puluh sifat wajib dan sifat
mustahil disertai dengan dalil naqli
bersumber dari Al-Qur’an serta satu sifat harus bagi. (Baca: Kitab Kifayatul Mubtadi-in Fii I’tiqaadil
Mu’miniin, Hal.6 dst.)
(1)
Wujud artinya ada Allah Ta’ala. Lawannya
‘Adam artnya; tiada. Mustahil Dia tiada ada, wajib Allah Ta’ala ada. Dalilnya:
[Allaahulladzi khalaqas samaawaati wal
ardha wamaa baina humaa]. Arti: “Allah Ta’ala jua yang telah menjadikan
tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi dan barang yang diantara keduanya”.
(2)
Sifat wajib bagi Allah SWT yang kedua adalah
Qidam, Qidam artinya sedia Allah Ta’ala. Lawannya huduts artinya baharu. Mustahil Dia baharu. Wajib Allah a’ala
sedia. Dalilnya: [ Huwal awwalu wal
aakhiru ]. Artinya: “Dia jualah Tuhan yang awal dan tiada berpermulan, dan
Dia jua Tuhan yang akhir tiada berkesudahan”.
(3)
Baqa, artinya kekal Allah Ta’ala. Lawannya
Fanaa’ artinya binasa. Mustahil Dia binasa. Wajib Allah a’ala kekal. Dalilnya:
[wa yabqaa wajhu rabbika dzuul jalaali
wal ikraam]. Artinya: “Kekal dzat Tuhan engkau yaa Muhammad yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan”.
(4)
Mukhaalafatuhu Ta’aala Lil hawaadits,
artinya bersalahan Allah Ta’ala bagi segala yang bahaaru. Lawannya mumaa
tsalatuhu ta’alaa lil hawaaditsi artinya menyamai Allah Ta’ala bagi segala yang
baharu. Mustahil Dia menyamai bagi segala yang baharu. Wajib Allah a’ala
bersalahan bagi segala yang bahaaru. Dalilnya: [Laisa kamitslihii syai-un]. Artinya: “Tiada seumpamanya Allah
Ta’ala oleh sesuatu”.
(5)
Qiyaamuhu Ta’aala Binafsihi, artinya berdiri
Allah Ta’ala dengan sendirinya. Lawannya an
laa yakuuna qaa-iman bi nafsihi artinya bahwa tiada berdiri Dia dengan
sendirinya. Mustahil Dia tiada berdiri dengan sendirinya. Wajib Allah berdiri
dengan sendirinya. Dalilnya: [Innallaaha
laganiyyun ‘anil ‘aalamiina]. Artinya: “Bahwasanya Allah Ta’ala
sesungguhnya kaya dari pada sekalian alam”.
(6)
Wahdaaniyat, artinya Esa Allah Ta’ala.
Lawannya ta’addud artinya berbilang-bilang. Mustahil Dia berbilang-bilang.
Wajib Allah Ta’ala esa.
Dalilnya: [ Qul
huwal laahu ahad ]. Artinya: “Kata olehmu Ya Muhammad, bermula Allah
Ta’ala yaitu esa dzat-Nya dan sifat-Nya
dan af’al-Nya (perbuatan-Nya) ”.
(7)
Qudrat, artinya kuasa. Lawannya ‘ajaz
artinya lemah. Mustahil Dia lemah. Wajib Allah kuasa. Dalilnya: [Innal laaha ‘alaa kulli syai-in qadiir].
Arti: “Bahwasa Allah Ta’ala itu kuasa
atas tiap-tiap sesuatu”.
(8)
Iraadat, artinya berkehendak Allah Ta’ala.
Lawannya karaahah artinya banci. Mustahil Dia banci. Wajib Allah a’ala
berkehendak. Dalilnya: [ Fa’ ‘aalun lima
yuriid ]. Artinya: “Allah Ta’ala jua yang sangat berbuat bagi segala
sesuatu yang dikehendakinya”.
(9)
Ilmu, artinya tahu Allah Ta’ala. Lawannya
jahlun artinya bebal. Mustahil Dia bebal (bodoh). Wajib Allah a’ala tahu.
Dalilnya: [Wallaahu bikulli syai-in ‘aliim].
Artinya: “Bermula Allah Ta’ala jua yang mengetahui dengan tiap-tiap sesuatu”.
(10)Hayat, artinya hidup Allah
Ta’ala. Lawannya mautun artinya mati. Mustahil Dia mati. Wajib Allah a’ala
hidup. Dalilnya: [Wa tawakkal ‘alal hayyil
ladzi laa yamuutu]. Artinya: “Berpegang olehmu Ya Muhammad atas Tuhan yang
hidup yang tiada mati”.
(11)Sama’, artinya mendengar
Allah Ta’ala. Lawannya shomam artinya tuli. Mustahil Dia tuli. Wajib Allah
a’ala mendengar. Dalilnya:[Laqad
sami’allaah]. Arti: “Sesungguhnya telah mendengar oleh Allah Ta’ala”.
(12)Bashar, artinya melihat
Allah Ta’ala. Lawannya ‘amaa artinya buta. Mustahil Dia buta. Wajib Allah
a’ala melihat. Dalilnya: [ Wallaahu
bashiirun bimaa ta’maluun ]. Artinya: “Bermula Allah Ta’ala jua yang amat
melihat dengan apa-apa yang kamu perbuat”.
(13)Kalaam, artinya
berkata-kata Allah Ta’ala. Lawannya bakam artinya bisu. Mustahil Dia bisu.
Wajib Allah a’ala berkata-kata. Dalilnya: [
Wa kallamallaahu muusaa takliiman ]. Artinya: “Telah berkata-kata Allah
Ta’ala akan Nabi Musa akan sempurna kata”. Dari 14 sampai 20 atau 7 sifat
berikutnya adalah sama dengan nomor 7 sampai 13, dalam arti sifat Yang Maha
bagi Allah SWT. Yakni
Qaadirun,Muriidun,‘Aalimun,Hayyun,Samii’un,Bashiirun,Mutakallimun.
Dan satu sifat harus, yaitu, [Laa yajibu ‘alaihi ta’aala fi’lu syai-in minal mumkinaat atau tarkuhu].
Artinya: Tiada wajib atas Allah Ta’ala memperbuat sesuatu dari pada sekalian
yang mungkin atau meninggalkan dia. Mustahil wajib ia memperbuat yang demikian
itu.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
REFERENCE
Abdurrahman bin Haji
Muhammad Ali, KH., Kitab Kifayatul
Mubtadi-in Fii I’tiqaadil Mu’miniin, Amuntai
Bukhari, Imam, Pengarang Kitab Hadits
Shahih, Ringkasan hadts Shahih Imam
Bukhari, Program Sofyan
Efendi (credit goes to him @ http://opi.110mb.com/)
Departemen Agama RI (sekarang Kemenag), 2008,
Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Ferlia
Citra Utama
Kemenag
RI, 2012, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta, Dirjen
Bimbingan masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah
Tim, 2005, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Houve
Tim, 2005, Ensiklopedi Al-Qur’an, Buku 1, Jakarta, PT. Kharisma Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar